Senin, 25 April 2011

pelangi dalam gulita

Menjadi berbeda membutuhkan tenaga yang lebih. Terlalu banyak hal yang saya mimpikan. Dan ternyata hal-hal ini sangat berbeda dengan orang kebanyakan. Terutama dengan orang – orang dilingkungan terdekat, keluarga. Mimpi pun harus menjadi kambing hitamnya. Tak terhitung mungkin saya memiliki keinginan, tp terpaksa saya lepas hanya karena tak mendapatkan restu orang tua. Saya berusaha tak menyalahkan mereka, mereka melakukan itu karena mereka sayang sama saya, tapi tetap saja saya sedih.

Salah satu ceritanya adalah...

Beberapa bulan yang lalu, saya menemukan sebuah forum backpacker. Dari forum itu saya mengerti banyak sekali tempat tempat eksotis di nusantara. Pengguna forum itu pun ratusan dan aktif backpacking. Saya jatuh cinta pada dunia backpacking ini. Dunia dimana setiap individu bisa langsung akrab dengan individu lain tanpa memandang latar belakang pendidikan, materi dan sosial. Atau mungkin saja ini memang karena di dunia maya, jadi berbeda di dunia nyata. Haha, saya tidak tahu. Dari forum ini saya mendapatkan beberapa kawan yang akhirnya menjadi benar-benar dekat. Kami tak hanya membicarakan masalah backpacking saja tapi juga masalah pribadi. Mulai kekangan orang tua dan hubungan asmara yang pasang surut. Kami merasa seperti keluarga. Saya waktu itu senang sekali, mendapatkan teman-teman baru, dan ternyata sharing-sharing membuat saya lebih kuat dalam menghadapi masalah yang menimpa. Hidup juga terasa lebih beragam, berwarna-warni dan menghentak.

Kami semua dalam forum backpacking ini, mungkin dekat lantaran memang memiliki hobi atau minat yang sama. Tapi tetap tidak jika dibandingkan dengan mayoritas masyarakat Indonesia. Beberapa diantaranya melihat backpacking adalah kebudayaan asing yang tak sesuai dengan orang timur seperti Indonesia. Salah satu kawan BP (backpacking) saya menjawab, “Kan cuma namanya saja yang asing, artinya enggak, kan jalan-jalan dengan biaya irit.” Selain itu backpacking terlihat sebagai suatu kegiatan yang dilakukan seperti menghamburkan uang dan bersenang-senang saja.

Saya ingin menepis semua anggapan itu. Backpacking membuat orang meninggalkan ruang nyamannya, mengetahui dunia luar. Membuatnya belajar dari kenyataan yang terjadi di masyarakat. Tak jarang beberapa mengerti masalah sosial dan akhirnya terjun langsung membantu bidang-bidang yang termarginalkan tersebut. Sekarang ini, bukanya saya mengandalkan pemerintah, tapi pemerintah terlalu naif. Mereka selalu berada di wilayah itu-itu saja. Ini menurut saya, mereka jarang turun dan melihat secara langsung bagaimana masyarakatnya, bagaimana topografinya dan bagaimana Indonesia-nya. Backpacking membuat kita mengunjungi banyak sekali tempat, mulai yang ramai dikunjungi hingga yang belum terjamah.

Saya sampai memiliki asumsi mereka lebih mengenal Indonesia ketimbang yang mestinya lebih memahami. Dari pengetahuan backpacker ini tak jarang akhirnya mereka bergabung dengan lembaga internasional yang bergerak dibidang konservasi alam. Beberapa yang lain membantu meningkatkan taraf sosial dan ekonomi masyarakat. Mereka mendatangi dan mengabarkannya pada khalayak luas. Yang akhirnya akan membuat gerakan-gerakan lebih besar yang konstruktif, walau tak jarang destruktif. Sampai sini, saya masih beranggapan, semakin banyak yang tahu, maka semakin bersih penanganan dan prosesnya. Sebaliknya semakin sedikit yang mengerti, semakin kotor pula sistem yang dijalankan.

Terkadang selintas saya berfikir, mungkinkah bangsa ini susah sekali mengejar ketertinggalan karena kurangnya pengetahuan tentang apa yang mereka miliki. Masyarakat kita terlalu suka menjalani hidupnya datar-datar saja. Belajar di sekolah, bekerja dan menikah. Terkadang ingin berontak, saya bukannya membenci manusia lain yang sepaham dengan itu, tapi memang minat saya bukan disitu. Saya memiliki keinginan untuk hidup dan melakukan apa yang saya yakini dan saya mengerti. Saya ingin melakukan kalau saya ‘ingin melakukan’, bukan karena orang, budaya atau masyarakat lain pantas mengira saya. Golongan muda yang mestinya lebih concern pun memiliki kendala yang beragam. Mulai terbatasi oleh budaya yang memagari, minat internal yang tak ada, dlsb. Seperti saya yang tak berdaya ketika tidak mendapat restu untuk mencintai dunia ini. Piuh. Dan menetes lagi.

Saya benar2 tak memiliki ide lagi kalau berkaitan dengan orang tua. Saya membantah bisa. Tapi saya tak mampu untuk tak mematuhi mereka. Saya sayang sekali dengan mereka. Wawawa tulisan apa ini. Terlalu berantakan ya? Hahah senang rasanya bisa menumpahkan uneg2. :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar