Minggu, 29 Mei 2011

Is it You/ Cassey/ Ost.Step Up 2

"Is It You?"

I'm looking for a lover not a friend
Somebody who can be there when I need someone to talk to
I'm looking for someone who won't pretend
Somebody not afraid to say
The way they feel about you

And I'm looking for someone who understands
How I feel
Someone who can keep it real
And who knows the way
The way I like to have it my way
And I'm looking for someone who takes me there
Wants to share
Shows he cares
Thinkin' you're the one that I've been waiting for

[chorus: 2x]
Is it you? Is it you?
Maybe you're the one I've been waiting for
Could you be the one for me?
Could you be the one I need?

I'm looking for someone to share my pain
Someone who I can run to
Who will stay with me when it rains
Someone who I can cry with through the night
Someone who I can trust whose heart is right
And I'm looking for someone

And I'm looking for someone who understands
How I feel
Someone who can keep it real
And who knows the way
The way I like to have it my way
And I'm looking for someone who takes me there
Wants to share
Shows he cares
Thinking you're the one that I've been waiting for

[chorus 2x]

Take for granted how much I care (how much I care)
Appreciates that I'm there
Someone who listens
And someone I can call who isn't afraid of love to share

Sabtu, 21 Mei 2011

Anyone?

Well, saya tidak tahu harus mulai dari mana.
Sebenarnya duduk permasalahannya adalah saya mulai tak memahami diri saya, dalam kurung LAGI. Saya sering sekali dan cepat memiliki keinginan/ yang biasa saya sebut mimpi saya. Banyak lah, saya pingin jadi guru anak-anak SD, saya pingin naik gunung, nyelam sama ikan hiu, pari, ikan terumbu, pingin bikin Kamar Baca yang kasih ilmu gratis, bikin perkebunan Hidroponik yang Organik dan ramah lingkungan, dan masih banyak lagi. Pokoknya terlalu banyak sekali.

Tapi beberapa orang dekat bertanya, “kamu nggak kepingin cari cowok?”. Ini adalah pertanyaan yang sangat sensitif. Tentu saja saya menginginkan. Tak mungkin lah tidak. Apalagi menikah adalah urusan menyempurnakan agama, dalam lingkup ilmu agama yang saya anut. Masalahnya, saya tak tahu waktunya. Saya tak tahu bagaimana caranya. Bagaimana prosesnya. How come? Saya sedang asik-asiknya mengerjakan ini dan itu. Main ke sana dan ke sini. Belajar ini dan itu. Umpamanya mungkin seperti anak kecil yang baru nyadar banyak sekali hal menarik yang bisa dilakukan. Games baru lah, dan macam-macam jenisnya, ada yang petualangan, rutinitas, atau sekadar tindakan repetitif. Tentu saja anak kecil itu akan asik dengan gamesnya kan?

Oh God, please save me!

Saya cuman kepingin tumpah, jadi maaf kalo ada tulisan curhat seperti ini di blog saya, and maybe you just dont mind!.

Tapi saya juga tidak bisa menjaga fokus saya untuk tetap belajar apa yang saya inginkan dan melakukan usaha untuk mewujudkan semua mimpi-mimpi saya. Beberapa saat fokus saya bisa teralih dan.....Terkadang, saya merasa, “Duh, dimana sih kamu? Kamunya udah muncul aku belon nyadar, apa kamunya yang belon nyadar aku di depanmu?” YA, benar, terkadang saya geregetan dan penasaran dimana Si Mas saya ini.
Sepertinya ini tulisan paling gag jelas. Uwawawawa :’S
Emm... saya bingung. Hahaha. Sepertinya saya memang belum siap menjalin hubungan. Errrgghh...,, yasudah saya main-main dan belajar dulu saja. Semoga gak salah pilihan. :S

Tapi terkadang, saya risih dengan sikap beberapa orang yang memaksa saya untuk mencari. Allah saja bilang, menikahlah jika kau sudah merasa siap dan yakin. Kenapa kamu sok tahu.. hei, saya g marah kok, cuma risih saja.
Anyway... Chaoo........ ;D

Senin, 02 Mei 2011

Menanti Pelangi Menjejak Bumi

Aku melihat disini, didalam kelompok besar manusia ini. Kami membutuhkan listrik, air bersih dan bahan bakar fossil. Kemudian aku melihat disana, sekumpulan hewan mati, tanah mengering dan beberapa hutan kebakaran. Aku juga mengingat beberapa pernyataan klasik. “Dalam hidup berlaku hukum rimba, yang kuat akan selalu mengalahkan yang lemah.”

Manusia jelas menurutku adalah makhluk yang sangat kuat. Mungkin memang manusia tak mampu berlari sekencang panther, atau seberat dan sebesar gajah atau paus punggung bengkok. Manusia juga tak semenawan kelinci persia yang melompat, tak bernyanyi seindah burung pipit, tak menari seanggun singa laut dan lumba-lumba yang berdansa dilautan, dan tak secantik ikan terumbu yang berwarna-warni yang entah bagaimana bisa semenakjubkan itu.

Tapi, manusia memiliki akal. Akal yang sampai saat ini sangat menakjubkan sekaligus memuakkan. Akal yang ini, mampu mendandani mereka dengan kebohongan-kebohongan yang semakin besar dan memuakkan. Akal ini juga membuat mereka dengan mudah mengelabui atau menjatuhkan sesama manusia yang lain, lewat belakang punggungnya. Dan ya, saya salah satu dari manusia yang masih hidup dan bernafas. Dan ya, saya juga sedikit banyak menikmati kebohongan-kebohongan ini.

Ketika isu global warming santer, kutub selatan meleleh besar-besaran, beberapa beruang laut kehilangan rumahnya. Manusia sedang menikmati dinginnya air conditioner, dan megahnya rumah mereka dan sumber daya yang melimpah disekeliling mereka. Bagaimana mereka bisa paham dengan pemanasan global? Ketika manusia lainya mengatakan tentang krisis air bersih yang mengancam, manusia yang “lebih kuat” akalnya membangun bendungan yang menampung air miliaran kubik. Dan industri air minum dalam kemasan malah sedang subur-suburnya di pasaran. Hingga beberapa saat sepertinya isu krisis air bersih hanya seperti angin yang telah lalu. Tak perlu difikirkan.

Pada akhirnya “mahluk yang lebih kuat lah yang akan menang?” Menghalakan pikiran semacam ini berakar dikepalaku? Apa ini benar? Manusia sangat mampu membangun bendungan yang sangat kokoh dan tinggi. Untuk mencukupi kebutuhan air dan listrik mereka yang sangat tinggi. Lalu bagaimana dengan ribuan hektar ekosistem hilir yang rusak karena air tak mengalir sampai ke hilir? Benarkah itu? Bolehkan manusia menganggukkan kepala? Karena manusia bisa hidup nyaman karena mereka memiliki akal, dan mahluk hidup lainnya yang memang tak memiliki akal halal untuk dikorbankan?
Mengapa aku malah berfikir bahwa akal itu buruk? Bukankah akal mestinya sesuatu yang bisa dibanggakan manusia. lalu apakah prestasi dengan dampak yang sedemikian besar ini boleh dibanggakan?

Apakah arti tanggung jawab? Bukankah mahluk yang memiliki pengetahuan lebih banyak bertanggung jawab terhadap mahluk lain yang lebih lemah? Atau mungkin barusan adalah kalimat ngelantur yang tidak penting.

Aku ingin sekali bersyukur menjadi manusia yang memiliki akal, tapi kenapa aku malah mengutuki manusia lain yang memiliki akal yang lebih tinggi dari akal ku. Aku memang tak mengerti seberapa membutuhkannya aku pada listrik, air bersih dan bahan bakar fossil. Seperti mereka yang berakal lebih menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya. Namun bisakah menghentikan kenyamanan ini sejenak, untuk menyadarkan bahwa kita memang tidak semelimpah itu. Kita sedang mencuri sesuatu dari mahluk hidup lain, dan mereka juga berhak atas itu.

Tuhan maha adil. Untuk semua mahluknya, lalu mengapa manusia tak belajar untuk adil? Bukankah tuhan telah menitipkan akal yang menakjubkan itu kepada manusia? dan sekali lagi. Doa tidak cukup. Aku terkadang sebal melihat akhir kalimat artikel dengan kalomat doa. Semoga ini, dan seoga itu. Butuh aksi konkrit yang melibatkan manusia dalam kuantitas yang sangat besar. Dan bahwa mengandalkan manusia lain tak akan pernah cukup. Andalkanlah diri sendiri. Setiap langkah besar selalu diawali dengan langkah kecil kan?

Bisakah manusia ini berfikir bahwa segala kenyamanan dan kemudahan yang mereka dapatkan berasal dari kematian ribuan mahluk hidup lainnya? Jutaan liter air dibendung untuk pembangkit listrik, menganak tirikan ribuan kehidupan dihilir. Ribuan pohon ditebang untuk ton – ton an kertas yang susah terurai yang merusak tanah dan kualitas kehidupan manusia dimasa mendatang.

Kalau jawaban dari beberapa manusia adalah “Konsekuensi lah itu nona..”. aku akan buang jawaban itu ke tempat sampah, yang sebelumnya akan ku bakar habis, hingga aku tak bisa menggunakan jawaban itu. Dan tentu saja aku akan mencari jawaban ku sendiri.

Minggu, 01 Mei 2011

Merpati Tersesat

Aku memilih ini bukan tanpa alasan. Bukan karena mereka dan yang lain. Bukan pula karena masalah yang kau khawatirkan. Salahkah aku yang ingin egois saat ini? Aku tahu kau berfikir bahwa aku melakukan kesalahan besar.

Aku seperti mengunci rapat pintu dan jendela, hingga tak ada yang melihat atau mendengar suaraku.

Kau tahu? Aku tahu aku salah dan aku tak boleh melakukan itu. Tapi, tahukah kau juga? Sempatkah kau berfikir bahwa aku kali ini sedikit membutuhkan itu. Pengasingan diri mungkin. Hanya sejenak.

Sejenak yang mungkin bisa jadi sangat berarti untukku. Sejenak yang mungkin sangat tidak rasional untuk mereka atau kalian. Berartikah sekarang? Ketika kau membaca ini? Atau kau melompati tiap tulisannya untuk mengerti tentangmu dalam pikir ku saja? Kau tak akan mendapatkan itu. Percayalah. Tidak ketika aku tak mengatakan untukmu secara langsung.

Dan untuk masalah ini sunguh aku tak mau minta maaf. Jangan menilaiku salah. Jangan berfikir aku meninggikan diriku lebih dari mu. Karena aku selalu berusaha memandang semua manusia dalam tinggi dan rendah yang sama.
Alasanku adalah aku menghargai kata maaf. Aku ingin memaknai kata itu dengan sebenar-benarnya. Memaknai bahwa kata itu sangat magis dan tulus. Kata indah itu, akan kukatakan disaat aku benar-benar membutuhkannya. Bukan sembarang kata yang bisa diobral.

Ya. Namun kau benar satu hal. Aku tak merasa salah kali ini. Tidak sampai aku membutuhkan kata itu. Tiap manusia memiliki alasannya. Benar dan salah memang abstrak, dan untuk menghindari kesalahpahaman membutuhkan kata maaf. Terkadang untuk sekadar menghibur, beberapa menggunakan kata maaf. Aku tak ingin melakukannya kepada kamu dan mereka yang lainnya.

Percaya. Saya butuh kepercayaan itu. Ini yang aku butuhkan. Untuk meminta kepada kalian aku bahkan rela menebus dengan apapun. Kepercayaan. Ini yang benar dan ingin aku dapatkan. Tak perlu meragukan apapun. Aku butuh ini untuk mendetakkan jantung kehidupanku. Pahamkah? Apakah masih susah? Mengertilah.. Buka lah sedikit egomu, percayalah, percayai aku. Ijinkan aku mengikuti kata hatiku, ijinkan aku melakukan apa yang aku yakini.