Senin, 02 Mei 2011

Menanti Pelangi Menjejak Bumi

Aku melihat disini, didalam kelompok besar manusia ini. Kami membutuhkan listrik, air bersih dan bahan bakar fossil. Kemudian aku melihat disana, sekumpulan hewan mati, tanah mengering dan beberapa hutan kebakaran. Aku juga mengingat beberapa pernyataan klasik. “Dalam hidup berlaku hukum rimba, yang kuat akan selalu mengalahkan yang lemah.”

Manusia jelas menurutku adalah makhluk yang sangat kuat. Mungkin memang manusia tak mampu berlari sekencang panther, atau seberat dan sebesar gajah atau paus punggung bengkok. Manusia juga tak semenawan kelinci persia yang melompat, tak bernyanyi seindah burung pipit, tak menari seanggun singa laut dan lumba-lumba yang berdansa dilautan, dan tak secantik ikan terumbu yang berwarna-warni yang entah bagaimana bisa semenakjubkan itu.

Tapi, manusia memiliki akal. Akal yang sampai saat ini sangat menakjubkan sekaligus memuakkan. Akal yang ini, mampu mendandani mereka dengan kebohongan-kebohongan yang semakin besar dan memuakkan. Akal ini juga membuat mereka dengan mudah mengelabui atau menjatuhkan sesama manusia yang lain, lewat belakang punggungnya. Dan ya, saya salah satu dari manusia yang masih hidup dan bernafas. Dan ya, saya juga sedikit banyak menikmati kebohongan-kebohongan ini.

Ketika isu global warming santer, kutub selatan meleleh besar-besaran, beberapa beruang laut kehilangan rumahnya. Manusia sedang menikmati dinginnya air conditioner, dan megahnya rumah mereka dan sumber daya yang melimpah disekeliling mereka. Bagaimana mereka bisa paham dengan pemanasan global? Ketika manusia lainya mengatakan tentang krisis air bersih yang mengancam, manusia yang “lebih kuat” akalnya membangun bendungan yang menampung air miliaran kubik. Dan industri air minum dalam kemasan malah sedang subur-suburnya di pasaran. Hingga beberapa saat sepertinya isu krisis air bersih hanya seperti angin yang telah lalu. Tak perlu difikirkan.

Pada akhirnya “mahluk yang lebih kuat lah yang akan menang?” Menghalakan pikiran semacam ini berakar dikepalaku? Apa ini benar? Manusia sangat mampu membangun bendungan yang sangat kokoh dan tinggi. Untuk mencukupi kebutuhan air dan listrik mereka yang sangat tinggi. Lalu bagaimana dengan ribuan hektar ekosistem hilir yang rusak karena air tak mengalir sampai ke hilir? Benarkah itu? Bolehkan manusia menganggukkan kepala? Karena manusia bisa hidup nyaman karena mereka memiliki akal, dan mahluk hidup lainnya yang memang tak memiliki akal halal untuk dikorbankan?
Mengapa aku malah berfikir bahwa akal itu buruk? Bukankah akal mestinya sesuatu yang bisa dibanggakan manusia. lalu apakah prestasi dengan dampak yang sedemikian besar ini boleh dibanggakan?

Apakah arti tanggung jawab? Bukankah mahluk yang memiliki pengetahuan lebih banyak bertanggung jawab terhadap mahluk lain yang lebih lemah? Atau mungkin barusan adalah kalimat ngelantur yang tidak penting.

Aku ingin sekali bersyukur menjadi manusia yang memiliki akal, tapi kenapa aku malah mengutuki manusia lain yang memiliki akal yang lebih tinggi dari akal ku. Aku memang tak mengerti seberapa membutuhkannya aku pada listrik, air bersih dan bahan bakar fossil. Seperti mereka yang berakal lebih menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya. Namun bisakah menghentikan kenyamanan ini sejenak, untuk menyadarkan bahwa kita memang tidak semelimpah itu. Kita sedang mencuri sesuatu dari mahluk hidup lain, dan mereka juga berhak atas itu.

Tuhan maha adil. Untuk semua mahluknya, lalu mengapa manusia tak belajar untuk adil? Bukankah tuhan telah menitipkan akal yang menakjubkan itu kepada manusia? dan sekali lagi. Doa tidak cukup. Aku terkadang sebal melihat akhir kalimat artikel dengan kalomat doa. Semoga ini, dan seoga itu. Butuh aksi konkrit yang melibatkan manusia dalam kuantitas yang sangat besar. Dan bahwa mengandalkan manusia lain tak akan pernah cukup. Andalkanlah diri sendiri. Setiap langkah besar selalu diawali dengan langkah kecil kan?

Bisakah manusia ini berfikir bahwa segala kenyamanan dan kemudahan yang mereka dapatkan berasal dari kematian ribuan mahluk hidup lainnya? Jutaan liter air dibendung untuk pembangkit listrik, menganak tirikan ribuan kehidupan dihilir. Ribuan pohon ditebang untuk ton – ton an kertas yang susah terurai yang merusak tanah dan kualitas kehidupan manusia dimasa mendatang.

Kalau jawaban dari beberapa manusia adalah “Konsekuensi lah itu nona..”. aku akan buang jawaban itu ke tempat sampah, yang sebelumnya akan ku bakar habis, hingga aku tak bisa menggunakan jawaban itu. Dan tentu saja aku akan mencari jawaban ku sendiri.

7 komentar:

  1. sebuah paradoks kenyataan, bahwa untuk "satu" yang hidup, dibutuhkan "beberapa" yang dikorbankan. Dan bagaimana jikalau ternyata yang telah dikorbankan itu (demi hidup yang "satu" itu)adalah kesia-siaan semata tanpa ada kegunaan bagi masa depan, bagi usaha agar di masa depan tidak diperlukan pengorbanan dari yang "beberapa" demi hidupnya yang "satu" tadi?

    Jikalau memang ternyata paradoks kenyataan yang demikian tak bisa dihindari, ya bijaknya mari kita jadikan pengorbanan yang "beberapa" tadi menjadi penuh arti bagi masa depan. Itulah mengapa banyak peneliti hadir untuk mencari solusi yang lebih baik bagi kehidupan bumi.

    Dan bagi yang bukan merupakan seorang peneliti -seperti aku salah satunya-, ya mencoba meminimumkan korban, dan update info tentang kemajuan yang dapat dicapai dari penelitian dari para peneliti yang punya idealisme "for a better life"

    ....

    semoga comment ini tak dibakar dan dibuang ke tempat sampah.. hehehheee....

    jabat erat,

    veSTer CobaiN -si bising kepala-

    BalasHapus
  2. wih,,,, keren tulisanmu Din.
    sebenarnya kita hidup dari sesuatu yang mati beberapa ribu tahun lalu
    menikmati kematian makhluk lain untuk hidup kita
    hmmmmmmm
    :(

    BalasHapus
  3. Untuk Vester Cobain : Iyahh,...sepakat, mencoba meminimalkan dan mengikuti update terbaru memang salah satu bentuk perduli dan bertindak, saya dan kamu sedang perduli, bertindak dan belajar..sambil berharap semakin banyak yang tertular hahaha.:)

    BalasHapus
  4. untuk Kurniaeno :
    ini apa mas danang ya?
    hahahaha... analogi kamu sedikit serem, tapi ada benernya. Waoww ternyata blogger juga situ. oia, makasih pujinya..wkwkwk
    tulisanmu juga nyaman dibaca. ringan dan nggak bertele-tele..hehe

    BalasHapus
  5. oh iya sedikit tambahan untuk vester cobain,,

    pengorbanan yang kamu maksud menurut saya juga tidak apa2. saya amini juga.

    dan pengorbanan itu tentu saja melahirkan kewajiban bagi kita semua untuk bertanggungjawab. sayangnya masih terlalu banyak yang merasa tidak bertanggungkawab.
    lalu, Mari Bertanggungjawab! :D

    -salam jabat yang terlalu erat-
    tak dibuang ke sampah, cuma di letak di blog aja ahahaha

    BalasHapus
  6. iya...
    :)
    masih blajar nulis Din, minta bimbingannya yo dari seorang jurnalis kaya kamu
    oke oke

    BalasHapus
  7. waduh, jurnalis? udah pensiun mas. lagipula jurnalis juga bisa salah. hahaha..

    katanya semakin sering nulis, semakin oke. kita sama-sama seringin nulis aja. okay? *senyum lebar

    BalasHapus